Film dokumenter tidak seperti halnya film fiksi (cerita) merupakan sebuah
rekaman peristiwa yang diambil dari kejadian yang nyata atau sungguh-sungguh
terjadi. Definisi “dokumenter” sendiri selalu berubah sejalan dengan
perkembangan film dokumenter dari masa ke masa. Sejak era film bisu, film
dokumenter berkembang dari bentuk yang sederhana menjadi semakin kompleks
dengan jenis dan fungsi yang semakin bervariasi. Inovasi teknologi kamera dan
suara memiliki peran penting bagi perkembangan film dokumenter. Sejak awalnya
film dokumenter hanya mengacu pada produksi yang menggunakan format film
(seluloid) namun selanjutnya berkembang hingga kini menggunakan format video
(digital). Berikut adalah ulasan singkat mengenai perkembangan sejarah film
dokumenter dari masa ke masa.
..
Era Film Bisu
Sejak awal
ditemukannya sinema, para pembuat film di Amerika dan Perancis telah mencoba
mendokumentasikan apa saja yang ada di sekeliling mereka dengan alat hasil
temuan mereka. Seperti Lumiere Bersaudara, mereka merekam peristiwa sehari-hari
yang terjadi di sekitar mereka, seperti para buruh yang meninggalkan pabrik,
kereta api yang masuk stasiun, buruh bangunan yang bekerja, dan lain
sebagainya. Bentuknya masih sangat sederhana (hanya satu shot) dan durasinya
pun hanya beberapa detik saja. Film-film ini lebih sering diistilahkan
“actuality films”. Beberapa dekade kemudian sejalan dengan penyempurnaan
teknologi kamera berkembang menjadi film dokumentasi perjalanan atau ekspedisi,
seperti South (1919) yang mengisahkan kegagalan sebuah ekspedisi ke
Antartika.
Tonggak awal
munculnya film dokumenter secara resmi yang banyak diakui oleh sejarawan adalah
film Nanook of the North (1922) karya Robert Flaherty. Filmnya
menggambarkan kehidupan seorang Eskimo bernama Nanook di wilayah Kutub Utara.
Flaherty menghabiskan waktu hingga enam belas bulan lamanya untuk merekam
aktifitas keseharian Nanook beserta istri dan putranya, seperti berburu, makan,
tidur, dan sebagainya. Sukses komersil Nanook membawa Flaherty melakukan
ekspedisi ke wilayah Samoa untuk memproduksi film dokumenter sejenis berjudul Moana
(1926). Walau tidak sesukses Nanook namun melalui film inilah pertama kalinya
dikenal istilah “documentary”, melalui ulasan John Grierson di surat kabar New
York Sun. Oleh karena peran pentingnya bagi awal perkembangan film dokumenter,
para sejarawan sering kali menobatkan Flaherty sebagai “Bapak Film Dokumenter”.
..
Sukses Nanook juga menginspirasi sineas-produser Merian C. Cooper dan
Ernest B. Schoedsack untuk memproduksi film dokumenter penting, Grass: A
Nation's Battle for Life (1925) yang menggambarkan sekelompok suku lokal
yang tengah bermigrasi di wilayah Persia. Kemudian berlanjut dengan Chang: A Drama
of the Wilderness (1927) sebuah film dokumenter perjalanan yang mengambil
lokasi di pedalaman hutan Siam (Thailand). Eksotisme film-film tersebut kelak
sangat mempengaruhi produksi film (fiksi) fenomenal produksi Cooper, yaitu King
Kong (1933). Di Eropa, beberapa sineas dokumenter berpengaruh juga
bermunculan. Di Uni Soviet, Dziga Vertov memunculkan teori “kino eye”. Ia
berpendapat bahwa kamera dengan semua tekniknya memiliki nilai lebih
dibandingkan mata manusia. Ia mempraktekkan teorinya melalui serangkaian seri
cuplikan berita pendek, Kino Pravda (1922), serta The Man with Movie
Camera (1929) yang menggambarkan kehidupan keseharian kota-kota besar di
Soviet. Sineas-sineas Eropa lainnya yang berpengaruh adalah Walter Ruttman
dengan filmnya, Berlin - Symphony of a Big City (1927) lalu Alberto
Cavalcanti dengan filmnya Rien Que les Heures.
Era Menjelang dan Masa Perang Dunia
..
Film dokumenter berkembang semakin kompleks di era 30-an. Munculnya
teknologi suara juga semakin memantapkan bentuk film dokumenter dengan teknik
narasi dan iringan ilustrasi musik. Pemerintah, institusi, serta perusahaan
besar mulai mendukung produksi film-film dokumenter untuk kepentingan yang
beragam. Salah satu film yang paling berpengaruh adalah Triump of the Will
(1934) karya sineas wanita Leni Riefenstahl, yang digunakan sebagai alat
propaganda Nazi. Untuk kepentingan yang sama, Riefenstahl juga memproduksi film
dokumenter penting lainnya, yakni Olympia (1936) yang berisi dokumentasi
even Olimpiade di Berlin. Melalui teknik editing dan kamera yang brilyan,
atlit-atlit Jerman sebagai simbol bangsa Aria diperlihatkan lebih superior
ketimbang atlit-atlit negara lain.
Di Amerika, era depresi besar memicu pemerintah mendukung para sineas
dokumenter untuk memberikan informasi seputar latar-belakang penyebab depresi.
Salah satu sineas yang menonjol adalah Pare Lorentz. Ia mengawali dengan The
Plow that Broke the Plains (1936), dan sukses film ini membuat Lorentz
kembali dipercaya memproduksi film dokumenter berpengaruh lainnya, The River
(1937). Kesuksesan film-film tersebut membuat pemerintah Amerika serta berbagai
institusi makin serius mendukung proyek film-film dokumenter. Dukungan ini
kelak semakin intensif pada dekade mendatang setelah perang dunia berkecamuk.
..
Perang Dunia Kedua mengubah status film dokumenter ke tingkat yang lebih
tinggi. Pemerintah Amerika bahkan meminta bantuan industri film Hollywood untuk
memproduksi film-film (propaganda) yang mendukung perang. Film-film dokumenter
menjadi semakin populer di masyarakat. Sebelum televisi muncul, publik dapat
menyaksikan kejadian dan peristiwa di medan perang melalui film dokumenter
serta cuplikan berita pendek yang diputar secara reguler di teater-teater.
Beberapa sineas papan atas Hollywood, seperti Frank Capra, John Ford, William
Wyler, dan John Huston diminta oleh pihak militer untuk memproduksi film-film
dokumenter Perang. Capra misalnya, memproduksi tujuh seri film dokumenter
panjang bertajuk, Why We Fight (1942-1945) yang dianggap sebagai seri
film dokumenter propaganda terbaik yang pernah ada. Capra bahkan bekerja sama
dengan studio Disney untuk membuat beberapa sekuen animasinya. Sementara John
Ford melalui The Battle of Midway (1942) dan William Wyler melalui Memphis
Belle (1944) keduanya juga sukses meraih piala Oscar untuk film dokumenter
terbaik.
Era Pasca Perang Dunia
Pada era setelah pasca Perang Dunia Kedua, perkembangan film dokumenter
mengalami perubahan yang cukup signifikan. Film dokumenter makin jarang diputar
di teater-teater dan pihak studio pun mulai menghentikan produksinya. Semakin
populernya televisi menjadikan pasar baru bagi film dokumenter. Para sineas
dokumenter senior, seperti Flaherty, Vertov, serta Grierson sudah tidak lagi
produktif seperti pada masanya dulu. Sineas-sineas baru mulai bermunculan dan
didukung oleh kondisi dunia yang kini aman dan damai makin memudahkan film-film
mereka dikenal dunia internasional. Satu tendensi yang terlihat adalah
film-film dokumenter makin personal dan dengan teknologi kamera yang semakin
canggih membantu mereka melakukan berbagai inovasi teknik. Tema dokumenter pun makin
meluas dan lebih khusus, seperti observasi sosial, ekspedisi dan eksplorasi,
liputan even penting, etnografi, seni dan budaya, dan lain sebagainya.
Sineas Swedia, Arne Sucksdorff menggunakan lensa telefoto dan kamera
tersembunyi untuk merekam kehidupan satwa liar dalam The Great Adventure
(1954); Oceanografer Jeacques Cousteau memproduksi beberapa seri film
dokumenter kehidupan bawah laut, seperti The Silent World (1954);
Observasi kota tampak melalui karya Frank Stauffacher, Sausalito (1948)
serta Francis Thompson, N.Y., N.Y. (1957). Mengikuti gaya eksotis
Flaherty, John Marshall memproduksi The Hunters (1956) mengambil lokasi
di gurun Kalihari di Afrika. Lalu Robert Gardner memproduksi salah satu film
antropologis penting, Dead Birds (1963) yang menggambarkan suku Dani di
Indonesia dengan ritual perangnya. Di Perancis, beberapa sineas berpengaruh
seperti Alan Resnais, Georges Franju, serta Chris Marker lebih terfokus pada
masalah seni dan budaya. Resnais mencuat namanya setelah filmnya, Van Gogh
(1948) meraih penghargaan di Venice dan Academy Award. Franju memproduksi
beberapa film dokumenter berpengaruh seperti Blood of the Beast (1948)
dan Hotel des invalides (1951). Sementara Marker memproduksi Sunday
in Peking (1956) dan Letter from Siberia (1958).
Direct Cinema
..
Pada akhir 50-an hingga pertengahan 60-an perkembangan film dokumenter
mengalami perubahan besar. Dalam produksinya, sineas mulai menggunakan kamera
yang lebih ringan dan mobil, jumlah kru yang sedikit, serta penolakan terhadap konsep
naskah dan struktur tradisional. Mereka lebih spontan dalam merekam gambar
(tanpa diatur), minim penggunaan narasi dengan membiarkan obyeknya berbicara
untuk mereka sendiri (interview). Pendekatan ini dikenal dengan banyak istilah,
seperti “candid” cinema, “uncontrolled” cinema, hingga cinéma vérité (di
Perancis), namun secara umum dikenal dengan istilah Direct Cinema. Beberapa
faktor yang mempengaruhi munculnya tren ini, yakni gerakan Neorealisme Italia
yang menyajikan keseharian yang realistik, inovasi teknologi kamera 16mm yang
lebih kecil dan ringan, inovasi perekam suara portable, serta pengisi acara
televisi yang popularitasnya semakin tinggi. Pendekatan Direct Cinema terutama
banyak digunakan sineas asal Amerika, Kanada, dan Perancis.
Di Amerika,
pengusung Direct Cinema yang paling berpengaruh adalah Robert Drew, seorang
produser yang juga jurnalis foto. Drew membawahi beberapa sineas dokumenter
berpengalaman seperti, Richard Leacock, Don Pannebaker, serta David dan Albert
Maysles. Drew memproduksi film-film dokumenter yang lebih ditujukan untuk
televisi, satu diantaranya yang paling berpengaruh adalah Primary
(1960). Film ini menggambarkan kontes politik antara John Konnedy dan Hubert
Humprey di Wisconsin. Drew bersama para asistennya merekam momen demi momen
secara spontan. Secara bergantian kamera mengikuti kemana pun dua politisi tersebut
pergi, di tempat kerja, bertemu publik di jalanan, berpidato, dan bahkan ketika
tengah bersantai di hotel. Dalam perkembangan Leacock, Pannebaker, dan Maysles
meninggalkan perusahaan milik Drew dan membentuk perusahaan mereka sendiri.
Beberapa diantaranya memproduksi film-film dokumenter penting, seperti What’s
Happening! The Beatles in New York (1964) arahan Maysles Bersaudara yang
dianggap merupakan film dokumenter Amerika pertama tanpa penggunaan narasi sama
sekali.
Di Perancis, salah satu pengusung cinéma vérité yang paling berpengaruh
adalah Jean Rouch. Salah satu karyanya yang dianggap paling berpengaruh (bahkan
di dunia) adalah Cronicle of a Summer (1961). Rouch berkolaborasi dengan
sosiologis, Edgar Morin menggunakan pendekatan baru cinéma vérité, yakni tidak
hanya semata-mata melakukan observasi dan bersimpati namun juga provokasi. “You
push these people to confess themselves… it’s very strange kind of confession
in front of the camera, where the camera is, let’s say, a mirror, and also a window
open to the outside” ungkap Rouch. Dalam filmnya tampak Morin berdiskusi
dengan pelajar serta para pekerja di Kota Paris tentang kehidupan mereka dengan
melayangkan pertanyaan kunci, “Are you happy?”. Rouch membiarkan
subyeknya mendefinisikan sendiri masalah mereka secara alamiah melalui performa
mereka di depan kamera.
..
Sejak pertengahan 60-an, pengembangan teknologi kamera 16mm dan 35 mm yang
semakin canggih serta ringan makin menambah fleksibilitas para pengusung Direct
Cinema. Sejak awal 60-an, hampir semua sineas dokumenter telah menggunakan
teknik kamera handheld untuk merekam segala peristiwa. Direct Cinema
juga berpengaruh pada perkembangan film fiksi secara estetik melalui gerakan new
wave, seperti di Perancis. Para sineas new wave seringkali menggunakan
kamera handheld, pencahayaan yang tersedia, kru yang minim, serta shot on
location. Bahkan film-film (fiksi) mainstream pun seringkali
mengadopsi teknik Direct Cinema untuk menambah unsur realisme sebuah adegan.
Pendekatan Direct Cinema secara umum berpengaruh perkembangan seni film
di dunia terutama pada era 60-an dan 70-an.
..
Warisan Direct Cinema dan Perkembangannya Hingga Kini
Dalam
perkembangannya, Direct Cinema terbukti sebagai kekuatan yang
berpengaruh sepanjang sejarah film dokumenter. Berbagai pengembangan serta
inovasi teknik serta tema bermunculan dengan motif yang makin bervariasi. Salah
satu bentuk variasi dari Direct Cinema yang paling populer adalah
“rockumentaries” (dokumentasi musik rock). Rockumentaries memiliki
bentuk serta jenis yang beragam. Let it Be (1970) memperlihatkan grup
musik legendaris The Beatles yang tengah mempersiapkan album mereka. Woodstock:
Three Days of Peace & Music (1970) garapan Michael Wadleigh merupakan
dokumentasi dari festival musik tiga hari di sebuah lahan pertanian yang
menampilkan beberapa musisi rock papan atas. Woodstock sering dianggap sebagai
film dokumenter musik terbaik sepanjang masa dan menjadi dasar berpijak bagi
film-film dokumentasi sejenis berikutnya. Pada dekade mendatang, This is
Spinal Tap (1984) merupakan sebuah parodi rockumentary yang terbukti paling
sukses komersil pada masanya.
Tradisi Direct Cinema juga tampak pada film-film kontroversial karya
Fredrick Wiseman. Film-filmnya banyak bersinggungan dengan kontrol sosial,
berkait erat dengan birokrasi dan bagaimana masyarakat dibuat frustasi olehnya.
Dalam film debutnya, High School (1968) memperlihatkan bagaimana para
siswa berontak melawan birokrasi di sekolah mereka. Maysles Bersaudara
memproduksi film “Direct Cinema” Amerika berpengaruh, Salesman (1966)
yang menggambarkan seorang salesman yang gagal. Sejak era 70-an, format film
dokumenter mulai berubah melalui kombinasi pendekatan Direct Cinema,
kompilasi footage, narasi, serta iringan musik. Salah satu sineas yang
mempelopori format kombinasi ini adalah Emile De Antonio melalui film anti
perangnya, Vietnam: In the Year’s of the Pig (1969). Dalam
perkembangannya format ini mendominasi gaya film dokumenter selama beberapa
dekade ke depan. Munculnya format digital juga semakin memudahkan siapa pun
untuk memproduksi film dokumenter. Kritik sosial dan politik, lingkungan hidup,
serta keberpihakan kaum minoritas masih menjadi menu utama tema film dokumenter
beberapa dekade ke depan.
Beberapa
sineas dokumenter berpengaruh muncul selama periode 70-an hingga kini. Erol
Morris memproduksi film-film dokumenter unik dengan tema dan subyek yang tak
lazim, seperti Gates of Heaven (1978), The Thin Blue Line (1988),
serta Mr. Death (2000). Barbara Kopple dikenal melalui filmnya bertema
demonstasi buruh, yakni, Harlan County, USA (1976) dan American Dream (1990).
Michael Moore gemar melakukan kritik sosial dan politik melalui film-filmnya Roger
and Me (1989), Bowling for Columbine (2001), Fahrenheit 9/11
(2004) serta Sicko. Kevin Rafferty dikenal melalui film-filmnya seperti The
Atomic Café (1982) dan The Last Cigarettes (1999). Pendekatan eksotis
Flaherty juga masih tampak dalam film peraih Oscar, March of the Penguins
(2005) yang tercatat sebagai film dokumenter terlaris sepanjang masa. Selama
sejarah perkembangannya, film dokumenter terbukti dapat lebih manipulatif
ketimbang film-film fiksi komersil. Film dokumenter melalui penyajian dan
subyektifitasnya seringkali cenderung menggiring kita untuk memihak. Masalah
etika dan moral selalu dipertanyakan. Sineas dokumenter seyogyanya tidak hanya
mampu menyajikan fakta namun juga kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar